Langsung ke konten utama

Interferensi

Pengertian Interferensi menurut Ahli Bahasa

Alwasilah (1985:131) mengetengahkan pengertian interferensi berdasarkan rumusan Hartman dan Stonk bahwa interferensi merupakan kekeliruan yang disebabkan oleh adanya kecenderungan membiasakan pengucapan (ujaran) suatu bahasa terhadap bahasa lain mencakup pengucapan satuan bunyi, tata bahasa, dan kosakata.

Sementara itu, Jendra (1991:109) mengemukakan bahwa interferensi meliputi berbagai aspek kebahasaan, bisa menyerap dalam bidang tata bunyi (fonologi), tata bentukan kata (morfologi), tata kalimat (sintaksis), kosakata (leksikon), dan tata makna (semantik) (Suwito,1985:55).

Interferensi, menurut Nababan (1984), merupakan kekeliruan yang terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa atau dialek kedua.

Senada dengan itu, Chaer dan Agustina (1995: 168) mengemukakan bahwa interferensi adalah peristiwa penyimpangan norma dari salah satu bahasa atau lebih.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, interferensi ialah Masuknya unsur suatu bahasa ke dalam bahasa lain yg mengakibatkan pelanggaran kaidah bahasa yg dimasukinya baik pelanggaran kaidah fonologis, gramatikal, leksikal maupun semantis. 

Untuk memantapkan pemahaman mengenai pengertian interferensi, berikut ini akan diketengahkan pokok-pokok pikiran para ahli dibidang sisiolinguistik yang telah mendefinisikan peristiwa ini.

Menurut pendapat Chaer (1998:159) interferensi pertama kali digunakan oleh Weinrich untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual.

Interferensi mengacu pada adanya penyimpangan dalam menggunakan suatu bahasa dengan memasukkan sistem bahasa lain. Serpihan-serpihan klausa dari bahasa lain dalam suatu kalimat bahasa lain juga dapat dianggap sebagai peristiwa interferensi.

Sedangkan, menurut Hartman dan Stonk dalam Chair (1998:160) interferensi terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa atau dialek kedua.

Abdulhayi (1985:8) mengacu pada pendapat Valdman (1966) merumuskan bahwa interferensi merupakan hambatan sebagai akibat adanya kebiasaan pemakai bahasa ibu (bahasa pertama) dalam penguasaan bahasa yang dipelajari (bahasa kedua).

Sebagai konsekuensinya, terjadi transfer atau pemindahan unsur negatif dari bahasa ibu ke dalam bahasa sasaran.

Pendapat lain mengenai interferensi dikemukakan oleh Alwasilah (1985:131) mengetengahkan pengertian interferensi berdasarkan rumusan Hartman dan Stonk, bahwa interferensi merupakan kekeliruan yang disebabkan oleh adanya kecenderungan membiasakan pengucapan (ujaran) suatu bahasa terhadap bahasa lain mencakupi pengucapan satuan bunyi, tata bahasa dan kosakata.

Sebab Interferensi

Suhendra Yusuf (1994:67) menyatakan bahwa faktor utama yang dapat menyebabkan interferensi antara lain perbedaan antara bahasa sumber dan bahasa sasaran. Perbedaan itu tidak hanya dalam struktur bahasa melainkan juga keragaman kosakata.

Pengertian lain dikemukakan oleh Jendra (1995:187)  menyatakan bahwa interferensi sebagai gejala penyusupan sistem suatu bahasa ke dalam bahasa lain.

Interferensi timbul karena dwibahasawan menerapkan sistem satuan bunyi (fonem) bahasa pertama ke dalam sistem bunyi bahasa kedua sehingga mengakibatkan terjadinya gangguan atau penyimpangan  pada sistem fonemik bahasa penerima.

Interferensi merupakan gejala perubahan terbesar, terpenting dan paling dominan dalam perkembangan bahasa.

Dalam bahasa besar, yang kaya akan kosakata seperti bahasa Inggris dan Arab pun, dalam perkembangannnya tidak dapat terlepas dari interferensi, terutama untuk kosakata yang berkenaan dengan budaya dan alam lingkungan bahasa donor.

Gejala interferensi dari bahasa  yang satu kepada bahasa yang lain sulit untuk dihindari. Terjadinya gejala interferensi juga tidak lepas dari perilaku penutur bahasa penerima.

Menurut Bawa (1981: 8), ada tiga ciri pokok perilaku atau sikap bahasa. Ketiga ciri pokok sikap bahasa itu adalah

  • (1) language loyality, yaitu sikap loyalitas/ kesetiaan terhadap bahasa, 
  • (2) language pride, yaitu sikap kebanggaan terhadap bahasa, dan 
  • (3) awareness of the norm, yaitu sikap sadar adanya norma bahasa. 

Jika wawasan terhadap ketiga ciri pokok atau sikap bahasa itu kurang sempurna dimiliki seseorang, berarti penutur bahasa itu bersikap kurang positif terhadap keberadaan bahasanya.

Kecenderungan itu dapat dipandang sebagai latar belakang munculnya interferensi.

Dari segi kemurnian bahasa, interferensi pada tingkat apa pun (fonologi, morfologi dan sintaksis) merupakan penyakit yang merusak bahasa, jadi perlu dihindari (Chaer dan Agustina (1998: 165).

Jendra (1991:105) menyatakan bahwa dalam interferensi terdapat tiga unsur pokok, yaitu bahasa sumber atau bahasa donor, yaitu bahasa yang menyusup unsur-unsurnya atau sistemnya ke dalam bahasa lain; bahasa penerima atau bahasa resipien, yaitu bahasa yang menerima atau yang disisipi oleh bahasa sumber; dan adanya unsur bahasa yang terserap (importasi) atau unsur serapan.

Dalam komunikasi bahasa yang menjadi sumber serapan pada saat tertentu akan beralih peran menjadi bahasa penerima pada saat yang lain, dan sebaliknya. Begitu juga dengan bahasa penerima dapat berperan sebagai bahasa sumber. Dengan demikian interferensi dapat terjadi secara timbal balik.

Bertolak dari pendapat para ahli mengenai pengertian interferensi di atas, dapat disimpulkan bahwa.

  1. kontak bahasa menimbulkan  gejala interferensi dalam tuturan dwibahasawan.
  2. interferensi merupakan gejala penyusupan sistem suatu bahasa ke dalam bahasa lain
  3. unsur bahasa yang menyusup ke dalam struktur bahasa yang lain dapat menimbulkan dampak negatif, dan
  4. interferensi merupakan gejala ujaran yang bersifat perseorangan, dan ruang geraknya dianggap sempit yang terjadi sebagai gejala parole (speech).


Interferensi berbeda dengan integrasi. Integrasi adalah unsur-unsur bahasa lain yang digunakan dalam bahasa tertentu dan dianggap sudah menjadi bagian dari bahasa tersebut, serta tidak dianggap sebagai unsur pinjaman atau pungutan (Chaer dan Agustina 1995:168).

Senada dengan itu, Jendra (1991:115) menyatakan bahwa dalam proses integrasi unsur serapan itu telah disesuaikan dengan sistem atau kaidah bahasa penyerapnya, sehingga tidak terasa lagi sifat keasingannya.

Dalam hal ini, jika suatu unsur serapan (interferensi) sudah dicantumkan dalam kamus bahasa penerima, dapat dikatakan bahwa unsur itu sudah terintegrasi.

Jika unsur tersebut belum tercantum dalam kamus bahasa penerima, berarti bahasa tersebut belum terintegrasi.

Suwito (1983:54), seperti halnya Jendra juga memandang bahwa interferensi pada umumnya dianggap sebagai gejala tutur (speech, parole), hanya terjadi pada dwibahasawan dan peristiwanya dianggap sebagai penyimpangan.

Interferensi dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu terjadi karena unsur-unsur serapan yang sebenarnya telah ada padanannya dalam bahasa penyerap, sehingga cepat atau lambat sesuai dengan perkembangan bahasa penyerap, diharapkan makin berkurang atau sampai batas yang paling minim.

Interferensi merupakan gejala perubahan terbesar, terpenting dan paling dominan dalam bahasa (Hockett dalam Suwito, 1983:54). Dari pendapat hockett tersebut perlu dicermati bahwa gejala kebahasaan ini perlu mendapatkan perhatian besar.

Hal ini disebabkan interferensi dapat terjadi di semua komponen kebahasaan, mulai bidang tatabunyi, tatabentuk, tatakalimat, tatakata, dan tatamakna Berdasarkan hal tersebut dapat dijelaskan bahwa dalam proses interferensi ada tiga hal yang mengambil peranan, yaitu:

  1. bahasa sumber atau bahasa donor
  2. bahasa penyerap atau resipien
  3. unsur serapan atau importasi

Interferensi dalam bidang fonologi

Contoh : jika penutur bahasa Jawa mengucapkan kata-kata berupa nama tempat yang berawal bunyi /b/, /d/, /g/, dan /j/, misalnya pada kata Bandung, Deli, Gombong, dan Jambi. Seringkali orang Jawa mengucapkannya dengan /mBandung/, /nDeli/,/nJambi/, dan /nGgombong/.

Interferensi dalam bidang morfologi

Interferensi morfologi dipandang oleh para ahli bahasa sebagai interferensi yang paling banyak terjadi.Interferensi ini terjadi dalam pembentuka kata dengan menyerap afiks-afiks bahasa lain.

Misalnya kalau sering kali kita mendengar ada kata kepukul, ketabrak, kebesaran, kekecilan, kemahalan, sungguhan, bubaran, duaan. Bentuk-bentuk tersebut dikatakan sebagai bentuk interferensi karena bentuk-bentuk tersebut sebenarnya ada bentuk yang benar, yaitu terpukul, tertabrak, terlalu besar, terlalu kecil, terlalu mahal, kesungguhan, berpisah (bubar), dan berdua.

Berdasarkan data-data di atas jelas bahwa proses pembentukan kata yang disebut interferensi morfologi tersebut mempunyai bentuk dasar berupa kosa kata bahasa Indonesia dengan afiks-sfiks dari bahasa daerah atau bahasa asing.

Interferensi dalam bentuk kalimat

Interferensi dalam bidang ini jarang terjadi. Hal ini memang perlu dihindari karena pola struktur merupakan ciri utama kemandirian sesuatu bahasa. Misalnya, Rumahnya ayahnya Ali yang besar sendiri di kampung itu, atau Makanan itu telah dimakan oleh saya, atau Hal itu saya telah katakan kepadamu kemarin.

Bentuk tersebut merupakan bentuk interferensi karena sebenarnya ada padanan bentuk tersebut yang dianggap lebih gramatikal yaitu: Rumah ayah Ali yang besar di kampung ini, Makanan itu telah saya makan, dan Hal itu telah saya katakan kepadamu kemarin.

Terjadinya penyimpangan tersebut disebabkan karena ada padanan konteks dari bahasa donor, misalnya: Omahe bapake Ali sing gedhe dhewe ing kampung iku, dan seterusnya

Interferensi Semantik

Berdasarkan bahasa resipien (penyerap) interferensi semantis dapat dibedakan menjadi,

  • Jika interferensi terjadi karena bahasa resipien menyerap konsep kultural beserta namanya dari bahasa lain, yang disebut sebagai perluasan (ekspansif). Contohnya kata demokrasi, politik, revolusi yang berasal dari bahasa Yunani-Latin. 
  • Yang perlu mendapat perhatian, interferensi harus dibedakan dengan alih kode dan campur kode. Alih kode menurut Chaer dan Agustina (1995:158) adalah peristiwa penggantian bahasa atau ragam bahasa oleh seorang penutur karena adanya sebab-sebab tertentu, dan dilakukan dengan sengaja. 

Sementara itu, campur kode adalah pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling  memasukkan unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten.

Interferensi merupakan topik dalam sosiolinguistik yang terjadi sebagai akibat pemakaian dua bahasa atau lebih secara bergantian oleh seorang dwibahasawan, yaitu penutur yang mengenal lebih dari satu  bahasa.

Penyebab  terjadinya interferensi adalah kemampuan penutur dalam menggunakan bahasa tertentu sehingga dipengaruhi oleh bahasa lain (Chaer,1995:158). Biasanya interferensi terjadi dalam penggunaan bahasa kedua, dan yang menginterferensi adalah bahasa pertama atau bahasa ibu

Jenis Interferensi 

Interferensi merupakan gejala umum dalam sisiolinguistik yang terjadi sebagai akibat dari kontak bahasa, yaitu penggunaan dua bahasa atau lebih dalam masyarakat tutur yang multilingual.

Hal ini merupakan suatu masalah yang menarik perhatian para ahli bahasa. Mereka memberikan pengamatan dari sudut pandang yang berbeda beda.

Dari pengamatan para ahli tersebut timbul bermacam-macam interferensi. Secara umum, Ardiana (1940:14) membagi interferensi menjadi lima macam, yaitu

(1)    Interferensi kultural 

dapat tercermin melalui bahasa yang digunakan oleh dwibahasawan. Dalam tuturan dwibahasawan tersebut muncul unsur-unsur asing sebagai akibat usaha penutur untuk menyatakan fenomena atau pengalaman baru.

(2)    Interferensi semantik 

adalah interferensi yang terjadi dalam penggunaan kata yang mempunyai variabel dalam suatu bahasa.

(3)    Interferensi leksikal, 

harus dibedakan dengan kata pinjaman. Kata pinjaman atau integrasi telah menyatu dengan bahasa kedua, sedangkan interferensi belum dapat diterima sebagai bagian bahasa kedua. Masuknya unsur leksikal bahasa pertama atau bahasa asing ke dalam bahasa kedua itu bersifat mengganggu.

(4)    Interferensi fonologis 

mencakup intonasi, irama penjedaan dan artikulasi.

(5)    Interferensi gramatikal 

meliputi interferensi morfologis, fraseologis dan sintaksis.

Interferensi menurut Jendra (1991:106-114) dapat dilihat dari berbagai sudut sehingga akan menimbulkan berbagai macam interferensi antara lain:

Interferensi ditinjau dari asal unsur serapan

Kontak bahasa  bisa terjadi  antara bahasa yang masih dalam satu kerabat maupun bahasa yang tidak satu kerabat.

Interferensi antarbahasa sekeluarga disebut dengan penyusupan sekeluarga (internal interference) misalnya interferensi bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa.

Sedangkan interferensi antarbahasa yang tidak sekeluarga disebut penyusupan bukan sekeluarga (external interference) misalnya bahasa interferensi bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia.

Interferensi ditinjau dari arah unsur serapan

Komponen interferensi terdiri atas tiga unsur yaitu bahasa sumber, bahasa penyerap, dan bahasa penerima. Setiap bahasa akan sangat mungkin untuk menjadi bahasa sumber maupun bahasa penerima. 

Interferensi yang timbal balik seperti itu kita sebut dengan interferensi produktif. Di samping itu, ada pula bahasa yang hanya berkedudukan sebagai bahasa sumber terhadap bahasa lain atau interferensi sepihak. Interferensi yang seperti ini  disebut interferensi reseptif.

Interferensi ditinjau dari segi pelaku

Interferensi ditinjau dari segi pelakunya bersifat perorangan dan dianggap sebagai gejala penyimpangan dalam kehidupan  bahasa karena unsur serapan itu sesungguhnya telah ada dalam bahasa penerima.

Interferensi produktif atau reseptif pada pelaku bahasa perorangan disebut interferensi perlakuan atau performance interference. Interferensi perlakuan pada awal orang belajar bahasa asing  disebut interferensi perkembangan atau interferensi belajar.

Interferensi ditinjau dari segi bidang

Pengaruh interferensi terhadap bahasa penarima bisa merasuk ke dalam secara intensif dan bisa pula hanya di permukaan yang tidak menyebabkan sistem bahasa penerima terpengaruh.

Bila interferensi itu sampai menimbulkan perubahan dalan sistem bahasa penerima disebut interferensi sistemik.

Interferensi dapat terjadi pada berbagai aspek kebahasaan antara lain, pada sistem tata bunyi (fonologi), tata bentukan kata (morfologi), tata kalimat (sintaksis), kosakata (leksikon), dan bisa pula menyusup pada bidang tata makna (semantik).

Interferensi Menurut Dennes

Dennes dkk. (1994:17) yang mengacu pada pendapat Weinrich mengidentifikasi interferensi atas empat, yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut.


  1. Peminjaman unsur suatu bahasa ke dalam tuturan bahasa lain dan dalam peminjaman itu ada aspek tertentu yang ditransfer. Hubungan antar bahasa yang unsur-unsurnya dipinjam disebut bahasa sumber, sedangkan bahasa penerima disebut bahasa peminjam.
  2. Penggantian unsur suatu bahasa dengan padanannya ke dalam suatu tuturan bahasa yang lain. Dalam penggantian itu ada aspek dari suatu bahasa disalin ke dalam bahasa lain yang disebut substitusi.
  3. Penerapan hubungan ketatabahasaan bahasa A ke dalam morfem bahasa B juga dalam kaitan tuturan bahasa B., atau pengingkaran hubungan ketatabahasaan bahasa B yang tidak ada modelnya dalam bahasa A.
  4. Perubahan fungsi morfem melalui jati diri antara suatu morfem bahasa B tertentu dengan morfem bahasa A tertentu, yang menimbulkan perubahan fungsi morfem bahasa B berdasarkan satu model tata bahasa A

Interferensi Menurut Chair 

Menurut Chair interferensi terdiri atas dua macam, yaitu

  1. interferensi reseptif, yakni berupa penggunaan bahasa B dengan diresapi unsur-unsur bahasa A, dan 
  2. interferensi produktif, yakni wujudnya berupa penggunaan bahasa A tetapi dengan unsur bahasa B.


Jendra (1991:108) membedakan interferensi menjadi lima aspek kebahasaan, antara lain

  1. interferensi pada bidang sistem tata bunyi (fonologi)
  2. interferensi pada tata bentukan kata (morfologi)
  3. interferensi pada tata kalimat (sintaksis)
  4. interferensi pada kosakata (leksikon)
  5. interferensi pada bidang tata makna (semantik)

Interferensi Menurut Jendra

Menurut Jendra (1991:113) interferensi pada bidang semantik masih dapat dibedakan lagi menjadi tiga bagian, yakni

  1. Interferensi semantik perluasan (semantic expansive interference). Istilah ini dipakai apabila terjadi peminjaman konsep budaya dan juga nama unsur bahasa sumber.
  2. Interferensi semantik penambahan (semantic aditif interference). Interferensi ini terjadi apabila muncul bentuk baru berdampingan dengan bentuk lama, tetapi bentuk baru bergeser dari makna semula.
  3. Interferensi semantik penggantian (replasive semantic interference). Interferensi ini terjadi apabila muncul makna konsep baru sebagai pengganti konsep lama.

Interferensi Menurut Yusuf

Yusuf (1994:71) membagi peristiwa interferensi menjadi empat jenis, yaitu

(1)    Interferensi Bunyi (phonic interference)

Interferensi ini terjadi karena pemakaian bunyi satu bahasa ke dalam bahasa yang lain dalam tuturan dwibahasawan.

(2)    Interferensi tata bahasa (grammatical interference)

Interferensi ini terjadi apabila dwibahasawan mengidentifikasi morfem atau tata bahasa pertama kemudian menggunakannya dalam bahasa keduanya.

(3)    Interferensi kosakata (lexical interference)

Interferensi ini bisa terjadi  dalam berbagai bentuk, misalnya terjadi pada kata dasar, tingkat kelompok kata maupun frasa.

(4)    Interferensi tata makna (semantic interference) 

Interferensi ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu (a) interferensi perluasan makna, (b) interferensi penambahan makna, dan (c) interferensi penggantian makna.

Interferensi Menurut Huda

Huda (1981: 17) yang mengacu pada pendapat Weinrich mengidentifikasi interferensi atas empat macam, yaitu

  1. mentransfer unsur suatu bahasa ke dalam bahasa yang lain,
  2. adanya perubahan fungsi dan kategori yang disebabkan oleh adanya pemindahan,
  3. penerapan unsur-unsur bahasa kedua yang berbeda dengan bahasa pertama,
  4. kurang diperhatikannya struktur bahasa kedua mengingat tidak ada equivalensi dalam bahasa pertama.

Faktor Penyebab Terjadinya Interferensi 

Selain kontak bahasa, menurut Weinrich (1970:64-65) ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya interferensi, antara lain:

1) Kedwibahasaan peserta tutur

Kedwibahasaan peserta tutur merupakan pangkal terjadinya interferensi dan berbagai pengaruh lain dari bahasa sumber, baik dari bahasa daerah maupun bahasa asing.

Hal itu disebabkan terjadinya kontak bahasa dalam diri penutur yang dwibahasawan, yang pada akhirnya dapat menimbulkan interferensi.

2)  Tipisnya kesetiaan pemakai bahasa penerima

Tipisnya kesetiaan dwibahasawan terhadap bahasa penerima cenderung akan menimbulkan sikap kurang positif. Hal itu menyebabkan pengabaian kaidah bahasa penerima yang digunakan dan pengambilan unsur-unsur bahasa sumber  yang dikuasai penutur secara tidak terkontrol.

Sebagai akibatnya akan muncul bentuk interferensi dalam bahasa penerima yang sedang digunakan oleh penutur, baik secara lisan maupun tertulis.

3)    Tidak cukupnya kosakata bahasa penerima

Perbendaharaan kata suatu bahasa pada umumnya hanya terbatas pada pengungkapan berbagai segi kehidupan yang terdapat di dalam masyarakat yang bersangkutan, serta segi kehidupan lain yang dikenalnya.

Oleh karena itu, jika masyarakat itu bergaul dengan segi kehidupan baru dari luar, akan bertemu dan mengenal konsep baru yang dipandang perlu.

Karena mereka belum mempunyai kosakata untuk mengungkapkan konsep baru tersebut, lalu mereka menggunakan kosakata bahasa sumber untuk mengungkapkannya, secara sengaja pemakai bahasa akan menyerap atau meminjam kosakata bahasa sumber untuk mengungkapkan konsep baru tersebut.

Faktor ketidak cukupan atau terbatasnya kosakata bahasa penerima untuk mengungkapkan suatu konsep baru dalam bahasa sumber, cenderung akan menimbulkan terjadinya interferensi.
Interferensi yang timbul karena kebutuhan kosakata baru, cenderung dilakukan secara sengaja oleh pemakai bahasa.

Kosakata baru yang diperoleh dari interferensi ini cenderung akan lebih cepat terintegrasi karena unsur tersebut memang sangat diperlukan untuk memperkaya perbendaharaan kata bahasa penerima.

4) Menghilangnya kata-kata yang jarang digunakan

Kosakata dalam suatu bahasa yang jarang dipergunakan cenderung akan menghilang. Jika hal ini terjadi, berarti kosakata bahasa yang bersangkutan akan menjadi kian menipis.

Apabila bahasa tersebut dihadapkan pada konsep baru dari luar, di satu pihak akan memanfaatkan kembali kosakata yang sudah menghilang dan di lain pihak akan menyebabkan terjadinya interferensi, yaitu penyerapan atau peminjaman kosakata baru dari bahasa sumber.

Interferensi yang disebabkan oleh menghilangnya kosakata yang jarang dipergunakan tersebut akan berakibat seperti interferensi yang disebabkan tidak cukupnya kosakata bahasa penerima, yaitu unsur serapan atau unsur pinjaman itu akan lebih cepat diintegrasikan karena unsur tersebut dibutuhkan dalam bahasa penerima.

5) Kebutuhan akan sinonim

Sinonim dalam pemakaian bahasa mempunyai fungsi yang cukup penting, yakni sebagai variasi dalam pemilihan kata untuk menghindari pemakaian kata yang sama secara berulang-ulang yang bisa mengakibatkan kejenuhan.

Dengan adanya kata yang bersinonim, pemakai bahasa dapat mempunyai variasi kosakata yang dipergunakan untuk menghindari pemakaian kata secara berulang-ulang.

Karena adanya sinonim ini cukup penting, pemakai bahasa sering melakukan interferensi dalam bentuk penyerapan atau peminjaman kosakata baru dari bahasa sumber untuk memberikan sinonim pada bahasa penerima.

Dengan demikian, kebutuhan kosakata yang bersinonim dapat mendorong timbulnya interferensi.

6)   Prestise bahasa sumber dan gaya bahasa

Prestise bahasa sumber dapat mendorong timbulnya interferensi, karena pemakai bahasa ingin menunjukkan bahwa dirinya dapat menguasai bahasa yang dianggap berprestise tersebut. 

Prestise bahasa sumber dapat juga berkaitan dengan keinginan pemakai bahasa untuk bergaya dalam berbahasa. Interferensi yang timbul karena faktor itu biasanya berupa pamakaian unsur-unsur bahasa sumber pada bahasa penerima yang dipergunakan

7). Terbawanya kebiasaan dalam bahasa ibu

Terbawanya kebiasaan dalam bahasa ibu pada bahasa penerima yang sedang digunakan, pada umumnya terjadi karena kurangnya kontrol bahasa dan kurangnya penguasaan terhadap bahasa penerima.

Hal ini dapat  terjadi pada dwibahasawan yang sedang belajar bahasa kedua, baik bahasa nasional maupun bahasa asing.  Dalam penggunaan bahasa kedua, pemakai bahasa kadang-kadang kurang kontrol.

Karena kedwibahasaan mereka itulah kadang-kadang pada saat berbicara atau menulis dengan menggunakan bahasa kedua yang muncul adalah kosakata bahasa ibu yang sudah lebih dulu dikenal dan dikuasainya.

Demikian pembahasan gamblang tentang interferensi, semoga bermanfaat. Terima kasih telah berkunjung di nihongo-gakka.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Semantik Bahasa Jepang

Dalam kajian ini akan mengulas tentang teori-teori yang semantik bahasa jepang. Dalam teori semantik memiliki makna denotatif dan konotatif. Teori Semantik Bahasa Jepang Menurut (Chaer, 2009, hal.2) kata semantik berasal dari bahasa Yunani, sema, yang berarti “tanda” atau “lambang”, yang dimaksud dengan tanda di sini adalah tanda linguistik. Oleh karena itu semantik merupakan ilmu linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa. Semantik sebagai pelafalan dari istilah “la semantique” adalah salah satu ilmu dan analisis tentang makna linguistik (Parera, 2004, hal.42). Untuk pembagian semantik ke dalam ilmu bahasa, ahli semantik (Ikegami,       1991, hal.19) juga mengatakan, 言語における意味の問題は、当然言語学の一部門として意味論の対象になる。意味論は、特に区別されるときは「言語学的な意味論」(linguistic semantics)、「哲学的な意味論」(philosophical semantics)、 「一般意味論」(general semantics)というふうにそれぞれ呼ばれるが、多くはいずれの場合対しても「意味論」という名称使われる。 Terjemahan : Permasalahan arti dalam bahasa yang menjadi objek semantik adalah salah sa...

ILOKUSI EKSPRESIF

Ilokusi ekspresif ILOKUSI EKSPRESIF bertujuan untuk mengaji tindak ilokusi ekpresif yang merepresentasikan prinsip kesantunan dalam program NHK World. Penelitian tindak ilokusi ekspresif banyak berlandaskan pada teori Leech (1993). Data pada bahasan ini berupa tuturan-tuturan yang mengandung tindak ilokusi ekspresif. Teknik pengumpulan data umumnya menggunakan teknik simak dan catat. Tindak ilokusi ini terdiri dari ucapan terima kasih, permintaan maaf, dan  rasa senang. Klasifikasi tersebut direpresentasikan dalam empat maksim kesantunan yaitu kerendah hatian, pujian, kesepakatan, dan simpati. # Teori Tindak Ilokusi Ekspresif Bahasa dan manusia merupakan dua hal yang  berhubungan. Menurut Chaer dan Agustina (2004:14), bahasa adalah alat untuk komunikasi. Sesuai dengan  pernyataan tersebut keberadaan bahasa sebagai alat komunikasi penting karena dengan bahasa manusia dapat mengekspresikan pikirannya. Ada dua pihak yang saling bertukar informasi dalam berkom...

Teori Penerjemahan Bahasa Jepang

Landasan Teori Penerjemahan Bahasa Jepang Teori penterjemahan bahasa jepang Pada bab ini Penulis akan menjabarkan tentang teori yang digunakan Penulis dalam menerjemahkan lirik lagu Sepasang Mata Bola karya Ismail Marzuki. Penerjemahan lirik lagu ini membutuhkan dua buah teori, yakni teori penerjemahan dan teori semantik. Kedua teori ini saling berhubungan dalam proses penerjemahan lirik lagu Sepasang Mata Bola ke dalam bahasa Jepang agar menjadi terjemahan yang paling sesuai dan paling mendekati lirik lagu aslinya. 1. Teori Penerjemahan Seorang guru besar teori terjemahan di Universitas Rikkyo di Tokyo, Torikai Kumiko mengungkapkan bahwa penerjemahan tertulis (翻訳) adalah upaya menerjemahkan secara tertulis isi informasi dari teks tertulis satu bahasa ke dalam bahasa lainnya (Torikai, 1998:3). Menurut Hoed (2006), penerjemahan adalah upaya mengalihkan pesan yakni makna yang terkandung dari teks suatu bahasa (bahasa sumber/BSu) ke dalam teks bahasa yang lain (bahasa ...

Teori Bushu Kanji dalam Bahasa Jepang

Teori bushu kanji Huruf   kanji terbentuk dari beberapa garis atau coretan. Garis-garis atau coretan-coretan tersebut membentuk bagian-bagian kanji, lalu bagian-bagian tersebut pada akhirnya membentuk sebuah huruf kanji secara utuh. Dengan adanya bagian-bagian pada sebuah kanji ini maka timbul istilah yang disebut dengan bushu . Dengan kata lain bushu adalah sebuah istilah berkenaan dengan bagian-bagian yang pada pada sebuah huruf kanji yang dapat dijadikan suatu dasar untuk pengklasifikasian huruf kanji. Jenis Bushu Kanji Jepang Menurut Habien (2000:20) bushu dibagi menjadi tujuh, yaitu: 1. Hen :  Bushu yang berada di bagian kiri huruf kanji. Contohnya : Bushu 木、火、禾、    糸、言、貝、金. 2. Tsukuri :  Bushu yang berada di bagian kanan huruf kanji. Contohnya : Bushu 刂、力、彡、阝、攵、欠、殳、頁. 3. Kanmuri :  Bushu yang berada di bagian atas huruf kanji. Contohnya : Bushu 宀、穴、竹、雨. 4. Ashi :  Bushu yang berada di bawah huruf kanji. Contoh...